Dukungan terhadap pertumbuhan perusahaan yang baru bersemai (start-ups) di Indonesia kian bertambah, salah satunya melalui ajang kompetisi. Sparx-Up Awarddan Indigo Fellowship maupun Bubu Awards termasuk yang berusaha keras menyediakan tempat bagi start-ups untuk unjuk kebolehan.
Menarik bahwa ajang kompetisi tersebut bukan hanya memilah perusahaan baru yang bagus dari sisi teknis, tapi juga yang kreatif dari aspek model bisnis. Penyedia lahan kompetisi ini umumnya memiliki misi yang keren, yakni mengorbitkan start-ups menjadi pemain bisnis yang hebat, bahkan berkelas internasional. Jadi, kompetisi nasional dapat menjadi pintu untuk memasuki pentas dunia.
Ajak kompetisi seperti ini memang menguntungkan bagi start-ups. Mereka dapat menjajagi sejauh mana ide yang mereka usung memang layak untuk terus ditekuni dan dikembangkan sebagai aktivitas bisnis. Umpan balik bisa mereka peroleh, baik yang memuji maupun yang mengritik tajam.
Betapapun, kritik di tahap awal lebih bagus ketimbang start-ups tumbang saat berjalan lebih jauh karena kelemahan tidak terendus sejak dini. Kritik bisa menjadi masukan untuk membereskan apa saja yang bila dibiarkan bisa jadi kendala yang lebih besar.
Ajang kompetisi juga membuka jalan bagi, terutama, para pemenangnya untuk berkenalan dengan investor—syukur-syukur bisa menggaet mereka agar mau berinvestasi. Start-ups juga bisa memperoleh bimbingan dalam mengelola usaha dan membangun jaringan bisnis. Kesempatan untuk belajar dari praktik terbaik pemain-pemain terdahulu juga bisa didapat.
Ajang kompetisi semacam itu memang bermanfaat bagi start-ups. Namun, kompetisi yang riil—yakni di medan pasar—sesungguhnya merupakan ajang yang paling sanggup mengasah kemampuan start-ups. Alih-alih menghindarkan diri untuk ‘berdarah-darah’ di samudra merah alias terjun di pasar yang tingkat persaingannya rendah (Blue Ocean, Chan Kim-Mauborgne), riset baru menunjukkan hal sebaliknya.
Terjun ke dalam kompetisi riil di tahap-tahap awal kehidupan perusahaan, menurut riset ini, akan meningkatkan prospeknya untuk bertahan dalam jangka panjang. Andrew Burke dan Stephanie Hussels mengungkapkan hasil studi mereka terhadap hampir 2 juta start-ups yang didirikan di Inggris antara 1995 hingga 2005 dalam lingkungan bisnis yang kompetitif.
Kedua peneliti itu menemukan bahwa perusahaan yang diluncurkan di pasar yang padat (crowded markets) mempunyai kemampuan bertahan lebih tinggi daripada perusahaan lain yang menghadapi persaingan lebih mudah pada tahun pertama.Start-ups yang sanggup bertahan hidup selama periode awal ini mempunyai peluang sangat besar untuk memasuki tiga tahun berikutnya.
Mengapa begitu? Burke menjelaskan, start-ups yang terjung di pasar kompetitif mendapatkan efek imun (immunizing efect). Ini tak ubahnya orang yang terpapar suatu penyakit dapat menciptakan antibodi yang menyediakan perlindungan dalam jangka panjang.
Lingkungan yang menantang menyebabkan start-ups berusaha untuk sangat fokus pada upaya memuaskan konsumennya sembari menjaga biaya tetap rendah. Start-ups yang gagal di tahap dini biasanya karena mereka kehabisan waktu untuk membangkitkan imunitas.
Lingkungan yang menantang menyebabkan start-ups berusaha untuk sangat fokus pada upaya memuaskan konsumennya sembari menjaga biaya tetap rendah. Start-ups yang gagal di tahap dini biasanya karena mereka kehabisan waktu untuk membangkitkan imunitas.
Kehadiran mentor bisnis maupun dukungan investor akan sangat bermanfaat bagi start-ups yang unggul dalam ajang kompetisi ketika memasuki persaingan yang sesungguhnya di pasar bebas. Pengalaman para mentor akan menginspirasi sejauh para pengelola start-ups bersedia membuka diri terhadap gagasan baru dan berani mengambil risiko.
0 comments:
Post a Comment