Loading

LAKBAN / OPP TAPE MURAH DAN KUAT

Wednesday, June 12, 2013

Melihat Lingkungan Bisnis sebagai Ekosistem

Kenaikan harga daging sapi, lalu bawang-bawangan, dan kabarnya juga cabai, membikin masyarakat repot. Masyarakat ini bukan hanya meliputi rumah tangga, tapi juga pemilik restoran, warung-warung, maupun penjual baksi. Bahkan, penjual daging, bawang, dan cabai di pasar pun dibuat pusing karena penjualan menurun.

Jadi, siapa yang memetik keuntungan dari situasi tersebut? Sebagian ekonom menyebutkan, para pemburu rente. Merekalah orang-orang yang sekedar mengambil untung tanpa mempedulikan bagaimana dampaknya terhadap orang lain. Mereka tak peduli apakah cara berbisnis mereka menyengsarakan orang lain. Pemburu rente tidak melihat lingkungan bisnis sebagai sebuah ekosistem.
Ekosistem merupakan metafora yang dipinjam dari sains biologi. Ekosistem bisnis, seperti dijelaskan untuk pertama kali oleh James F. Moore dalam ‘Predator and Prey: A New Ecology for Competition’ di jurnal Harvard Business Review edisi Mei-Juni 1993, merupakan komunitas ekonomi yang didukung oleh fondasi berupa interaksi di antara organisasi dan individu yang ada di dalamnya. Merekalah organisme dunia bisnis yang saling membutuhkan.
Komunitas ekonomi ini menghasilkan produk dan jasa yang bernilai untuk konsumen, yang juga menjadi anggota ekosistem tersebut. Ekosistem yang baik, menurut Moore, berjalan di atas keseimbangan antara kompetisi dan kooperasi di antara aktor-aktor dalam ekosistem. Tidak ada anggota ekosistem yang mengeksploitasi anggota lainnya demi memburu keuntungan diri sendiri.
Sejak diperkenalkan oleh Moore, pendekatan ekosistem semakin populer. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang cenderung vertikal, ekosistem bisnis melihat hubungan di antara anggota ekosistem sebagai jejaring yang berinteraksi secara dinamis. Moore menyebut anggota ekosistem sebagai aktor.
Jejaring (network) ini menghubungkan anggota-anggota ekosistem yang saling bergantung dalam upaya mereka meraih keberhasilan. Masing-masing aktor memiliki kapabilitas tertentu yang dibutuhkan aktor lainnya. Tidak ada aktor yang memiliki seluruh kapabilitas sehingga ia tidak memerlukan aktor-aktor lain dan menjadi dominan di dalam ekosistem.
Melalui pendekatan ekosistem, sebuah perusahaan yang tengah mengembangkan bisnis akan melihat bahwa di dalam ekosistemnya tersedia berbagai sumber daya yang ia butuhkan. Perusahaan otomotif membutuhkan pemasok suku cadang, perlu kerjasama dengan produsen ban, pembuat jok, distributor, dan juga tenaga pemasaran. Sebuah perusahaan membutuhkan unsur-unsur yang memperkaya keunggulannya agar berhasil dan unsur-unsur ini didapat dari kerjasama dengan anggota ekosistem lainnya.
Kemajuan yang dicapai anggota ekosistem tertentu akan memberi manfaat bagi anggota ekosistem lainnya. Bila permintaan mobil meningkat, maka produksi ban akan meningkat, penghasilan tenaga penjualan bertambah, dan seterusnya. Banyak anggota ekosistem yang ikut menikmati kemajuan ini. Cara kerja ekosistem akan rusak bila ada anggota yang ingin untung sendiri, apapun caranya.
Dalam hal bisnis daging sapi, di dalamnya ada peternak, pemasok makanan ternak, tukang jagal, sopir truk, distributor, hingga penjual eceran dan konsumen. Bila para pemain ini melihat bisnis daging sapi sebagai ekosistem, mereka akan merasa saling membutuhkan. Tatkala sebagian orang hanya memburu keuntungan semata,  rusaklah bisnis daging sapi ini. Harga mahal, pembeli berkurang, masyarakat dirugikan. Persoalannya bisa meluas kemana-mana ketika sebagian orang memakai segala cara untuk mendapatkan rente.
Kolaborasi di tengah kompetisi menjadi kata kunci yang menggerakkan perkembangan ekosistem bisnis. Mereka yang hidup dalam suatu ekosistem harus menyadari bahwa mereka hanya bisa tumbuh dengan cara berbagi (sharing) pengetahuan, sumber daya, keahlian, serta spirit saling memerlukan. 

0 comments:

Click Button Below to Save As PDF

Pertumbuhan PDB per kapita (% tahunan)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com