Loading

LAKBAN / OPP TAPE MURAH DAN KUAT

Tuesday, April 10, 2012

Belajar Merger & Acquisition bersama Sandiaga Uno

Jadi waktu saya ketemu pak Widja tahun 2000, usaha kami baru berjalan kurang lebih 2,5 sampai 3 tahun. Ini fase pertama dari buy out M & A strategies dari Indonesia. Dimana kita baru terbentur krisis, dan kita melihat bahwa Indonesia dalam keadaan betul betul pancaroba. Jadi kalau kita ingat pada saat itu aset-aset yang bagus bagus itu ada di BPPN atau IBRA (Indonesian Bank Restructuring Agency).

Banyak sekali perusahaan-perusahaan yang harus menjual asetnya untuk survival mereka. Jadi ini yang pertama kali terbesit waktu saya pertama menjadi pengusaha itu kan memberikan financial advice. Financial advice kami diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang waktu itu kesulitan keuangan, tidak memiliki kemampuan untuk merestrukturisasi balance sheet atau neracanya. Akhirnya mereka harus mencari capital.
Nah waktu itu capital itu sulit sekali. Indonesia itu bukan seperti sekarang dimana kita memiliki GDP perkapita 3000 dollar, tahun ini 3100 malah. Indonesia waktu itu keadaannya adalah perubahan sistem demokratisasi. Kita masih melihat banyak sekali demo-demo di jalan. GDP perkapita kita 600 dollar perkapita.  Kita lagi melakukan proses desentralisasi dan demokratisasi. Ada seorang ekonom ketemu saya pada tahun itu sekitar tahun 2000an gitu waktu fase pertama ini, bahwa dia bilang “A Country with a full-fledged democracy and sub 1000 dollar GDP Percapita will not make it”. Prediksi dia Indonesia akan “balkanize”, suku-suku itu akan terpecah pecah dan pulau itu akan merdeka dengan sendirinya.
Jadi itu potret Indonesia di tahun 97-98 sampai 2000. Konsultan tersebut membekas sekali advicenya kepada kami. Tapi saya bilang gak mungkin. Tapi dia bilang “lihat saja India, Filipina, itu kan full-fledged democracy gak akan kemana-mana. Akhirnya rakyatnya miskin dan negaranya tidak memiliki prospek yang baik.
Sepuluh atau fast forward tiga belas tahun kemudian, Indonesia berada di posisi yang primadona. Nomor 16 ekonomi terbesar di dunia. Member of G20, ketua ASEAN dan banyak yang menyebut CHINDONESIA (China, India, Indonesia) akan merubah wajah perekonomian dunia. Jadi saya lagi cari ekonom itu sekarang ada dimana, karena advice dia waktu itu ngawur sekali. Atau dia sudah pindah profesi, saya hanya mau ingatin klien-kliennya dia untuk tidak terlalu mendengarkan nasehatnya. Tapi kapital saat itu sulit sekali karena konsultansi dari pada orang-orang seperti dia. Tidak ada orang yang mau menanam uang di Indonesia saat itu. Konsultan itu dari IAU.
Kalau kita dulu punya uang atau source of capital, kita punya akses kepada large scale of funding. Wah udahlah kita tidak akan ada kompetisi. Waktu dulu salah satunya yang aktif adalah firm pak Widja yang dulu. Mereka melihat oportuniti itu. Faralon Capital bersama Djarum Grup melakukan beberapa akuisisi salah satunya BCA, Jardine Cycle & Carriage mengakuisisi Astra International, Temasek mengakuisisi Danamon, dan beberapa transaksi yang besar. Itu adalah Phase one, motonya itu adalah “Buy Low Sell High”. That’s how you make money. Gak perlu mikirlah, beli aja tunggu 3-4 tahun jual pasti untung berlipat ganda. Faralon melakukan itu BCA, Temasek melakukan itu di BII. Dia beli BII murah dan dia jual  , dan juga di Indosat dilakukan transaksi seperti itu. Itu adalah Fase Pertama.

Setelah itu di 2004, Indonesia mulai membaik secara ekonomi dan secara perspektif dunia internasional mulai bisa menerima bahwa Indonesia itu, saya ingat sekali waktu saya nge-bid BCA bersama firmnya pak Widja ini. Investment Committee dari investor-investor kita bilang Indonesia itu Al Qaeda Country. Itu adalah sarang dimana Al Qaeda berkembang dan Indonesia itu negara fundamentalis. Jadi setelah di 2004 dunia sudah melihat Indonesia tidak terlalu ngawur-ngawur amat. Masih bisa ditolerir. Jadi 2004 hingga 2007 mulai fase kedua. Bahwa tidak bisa lagi beli murah karena sudah tidak ada lagi aset yang murah. Kita harus bisa melakukan suatu rekayasa keuangan atau financial engineering dan restruturisasi ongkos produksi melalui cost cutting.
Nah ini bisa kita lihat salah satunya di Adaro Energy. Adaro dilakukan transaksi oleh Saratoga pertama kali di 2001, Buy Low Sell High. Kita beli dengan harga waktu itu relatif murah karena lagi pada distress. Tapi pas tahun 2005 kita melakukan leverage buyout dengan Faralon, JIC, dll itu udah gak bisa lagi beli murah. Karena harganya itu sudah USD 1 milyar pada saat itu.
Fase kedua ini diperlukan ketajaman melakukan rekayasa keuangan dan juga bagaimana membesarkan perusahaan walaupun dengan suatu ongkos produksi yang terus di tekan dengan cost cutting. Pak Widja “Jadi bisa diartikan dulu itu siapapun yang punya capital bisa dapat untung. Karena buy low sell high?” Gak perlu mikirlah dulu. Dulu gak perlu terlalu banyak mikir, beli aja pasti akan dapat keuntungan. Tapi di fase kedua ini sudah mulai banyak yang punya akses terhadap kapital. Saya masih ingat itu menjamur perusahaan-perusahaan yang datang kesini bawa capital dan mulai bersaing dengan kita.
Jadi karakteristik dari fase kedua ini harus bisa mencari funding yang paling murah. Waktu itu kami adalah salah satu grup pertama yang bisa mengakses bank funding dengan katagori murah. Salah satunya adalah MGTI yang support oleh pak Widja. Waktu itu pak Widja di ABN AMRO. Transaksi pertama setelah krisis yang dibiayai melalui bridge dan leverage recapital.
Jadi ini adalah cheap funding yang betul betul menjadi karakteristik daripada transaksi di fase kedua sampai tahun 2007. Nah disini nih merupakan golden period (2004-2007) untuk buyout. Kita lihat banyak sekali transaksi. Salah satunya Adaro, Indosat, dan transaksi-transaksi lain yang waktu itu betul-betul sangat-sangat sering. Frekuensinya itu bisa 3-4 kali dalam sebulan.
Kadang-kadang kita selalu bilang bahwa fase kedua perlu mikir dikit tapi tetap saja kita bisa mendapatkan return yang menarik tanpa terlalu meng-employ suatu decision yang begitu tajam.

Fast forward ke 2008, Global Financial Crisis terus masuk ke 2011. Ini fase ketiga. Pada saat ini Indonesia sekarang masuk dalam kategori hampir investment grade. Mungkin akhir tahun ini atau awal tahun depan. Semenjak krisis kita belum pernah investment grade. Tapi begitu kita masuk ke investment grade tiba-tiba harga perusahaan, harga saham, harga properti, harga semua aset yang ada di Indonesia akan naik dengan sendirinya. Karena dengan investment grade itu Indonesia bisa disetarakan dengan negara-negara lain di Eropa atau negara-negara maju lainnya. Berarti Indonesia sudah graduate dari low income, ke middle income, dan sudah masuk ke kategori yang layak di investasi.
Nah gak bisa lagi ada aset yang murah, tidak ada lagi aset yang hanya direkayasa keuangannya. Tapi kita sekarang mulai melihat bahwa harga aset itu sudah semakin tinggi. Nah kuncinya waktu itu saya tanya ada beberapa investor yang berinvestasi di Indonesia dan sangat agresif. Saya tanya kalau beli dengan harga segini gimana untungnya? Bagaimana dia bisa melakukan restrukturisasi dan IPO berikutnya dengan menghasilkan keuntungan. Jawan seorang investor luar negeri bilang gini kepada saya, bahwa memang sekarang ini kelihatannya mahal tapi 2-3 tahun setelah ini apa yang kita beli sekarang mahal ini akan kelihatan murah.
Pak Widja “Jadi bagaimana kita membedakan bahwa awal ini awal dari bubble?”  Nah, ini berbeda dengan bubble yang lalu berbeda dengan sebelum 97-98 karena pada saat 97 98 itu ekonomi kita tidak di dukung oleh suatu keadaan ekonomi makro ekonomi yang secara fundamental strong (kuat). Sekarang kalau kita lihat topografi daripada ekonomi kita itu 60% adalah domestic demand. UKM kita itu kuat sekali. UKM kita menyumbang 60% dari produk domestic bruto kita. Waktu kemarin global financial crisis di 2008 dimana eksternal demand itu turun, ternyata Indonesia masih bisa bertumbuh dengan 4%. Berarti ekonomi kita ini bukan ekonomi yang abal-abal. Bukan ekonomi yang hanya bisa hidup karena ada demand dari luar negeri. Ternyata ekonomi kita itu bisa kuat dan tumbuh karena memang ada demand. Ada permintaan yang sangat besar, 240 juta rakyat Indonesia membentuk pasar yang sangat-sangat resilient (tangguh).
Kemarin World Bank mengeluarkan report, bahwa dalam 7 tahun terakhir Indonesia berhasil menambah 50 juta angkatan middle class (kelas menengah) atau middle income population yang naik kelas dari low income ke middle income. Berarti itu setiap tahun 7 juta masyarakat Indonesia yang naik kelas dari pendapatan rendah ke pendapatan menengah.  Nah kalau naik kelas itu tiba-tiba demand mereka terhadap quality education, quality healthcare, entertainment, dll itu makin tinggi. Dulu itu mereka hidup hanya dengan 2 dollar atau 3 dollar perhari tapi sekarang ini mereka sudah tiba-tiba punya disposable income untuk beli motor misalnya. Makanya penjualan motor 7 juta unit tahun lalu. Naik 40% dan mobil naik 70% dari tahun sebelumnya.
Tiba-tiba mereka mempunyai uang lebih untuk beli handphone. Hampir semua di Indonesia, di Jakarta terutama punya handphone. Malah Blackberry sekarang ada 4 juta pengguna Blackberry di Indonesia. Melebihi pengguna Blackberry di Amerika yang sudah melebihi 12 tahun diperkenalkan disana hanya memiliki 3,7 juta pengguna. Pak Widja bercanda “Jadi kalau video ini masuk youtube dapat fee dari Blackberry?” Hehe.. ya memang sudah bagian dari paket itu. Hehehe… Dulu Nokia, tapi karena Nokia lagi turun. Habis ini kita iklan aqua. Hahahaha…
Jadi kalau kita lihat produk-produk consumer goods itu melihat Indonesia sebagai pasar yang sangat-sangat menarik gitu. Karena disposable incomenya naik dan ternyata, atau gini aja lah kalau kita turun di cengkerang menuju Energy Building disini kita akan melewati 14 mall, shopping mall baru yang baru dibangun 2 tahun terakhir. Poin saya adalah 14 shopping mall ini tidak pernah kosong, penuh terus. Isinya istri kita atau anak-anak kita yang pada belanja gitu. Toko-toko itu gak mungkin ada disana kalau tidak ada yang belanja. Walaupun rata-rata yang beli sedikit tapi pasti food courtnya penuh dan pasti yang berkaitan dengan entertainmentnya laku. Karena mereka memang punya disposable income.
Jadi I don’t believe there is a bubble in that sense ya. In that sense tidak menunjukkan bubble, tapi memang perilaku dari pada investor-investor ini, mengingat kita pada perilaku mereka pada tahun 1997 dimana aset itu makin lama harganya makin membumbung tinggi dan kita sebagai investor kadang-kadang bertanya apakah ini terlalu bubble. Disini adalah marketnya sellers atau sering kita sebut sellers market. Semua yang memiliki aset akan meminta harga yang paling tinggi dan melakukan lelang. Dulu-dulu gak pernah ada lelang. Jadi selalu di approach bilateral tapi sekarang melalui lelang.
Ada yang bertanya dari audiens “Pak Sandi, kalau menurut consumer memang bubble tapi bagaimana dengan properti?” Properti kalau dilihat dari value, properti di Indonesia itu masih undervalue dibandingkan transaksi transaksi serupa di other parts of south east asia. Jadi ada 1 hal yang tidak diciptakan lagi, yaitu tanah dan tanah itu becoming very scarce, coba saja lihat Jakarta. Ini mertua saya sudah 50 tahun main properti dan invest di properti gak pernah rugi. Karena memang propertinya itu-itu aja. Tanahnya itu-itu saja dan harganya naik terus.
Jadi di fase seperti ini baik itu properti dan lain-lain, pembeli atau investor itu mesti melihat bagaimana hands on approach di setiap aset yang diakuisisi. Tidak bisa hanya didiamkan untuk manajemen yang mengelola tapi dia harus hands on dan bagaimana menambah nilai dari bisnis yang mereka akuisisi.
Jadi inilah 3 fase evolusi yang ada, sayangnya kita berada di fase ketiga dan ya kadang-kadang kita juga melihat bahwa memang kedepan ini perlu suatu ketajaman visi untuk merealisasikan bagaimana investasi ini mendatangkan keuntungan. Pak Widja “Mas Sandi ini menarik, barangkali ini pertama kali ini saya melihat. I think ini original ya? You created yourself? Karena fase 1, 2, dan 3 ini valid. Saya ingin tahu apakah ada fase 4 dan bagaimana fase 4?” Saya melihat sebagai investor yang membedakan kita dengan yang lain adalah melihat kedepan. Fase 4 saya rasa aset-aset yang maturing seperti consumer, sector raw material, spt coal dll ini akan menjadi komoditas dan tidak akan banyak lagi kegiatan investasi dan M&A kecuali itu berhubungan dengan restrukturisasi daripada bisnis mereka ke depan.
Tapi yang saya nanti investor-investor ini akan berubah melihat trend-trend pariwisata misalnya, atau sektor-sektor yang belum tersentuh seperti pariwisata, education, dan healthcare. Healthcare akan besar sekali karena middle class yang baru tumbuh ini meminta kepada pasar untuk menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik. Saya lihat sektor pariwisata, pendidikan, kesehatan dan industri kreatif yang akan muncul di fase keempat. Wavenya udah bicara bukan hanya hard asset tapi intellectuals asset. Disitu lebih membutuhkan suatu kreatifitas daripada investor dan managementnya. 
Di fase ketiga kita perlu Value Creation dimana kita menciptakan nilai dengan Hands on Approach. Ini mantra yang kita lakukan di Saratoga dan Recapital. Kadang kita sering dituduh sebagai Vulcure Fund, atau investor yang disebut sebagai investor burung bangkai. Jadi mencari aset yang lagi susah terus dicabik-cabik dan buy and breakup terus orangnya di PHK dll.
Saya sedikit share, selama Saratoga dan Recapital itu berinvestasi di 14 tahun terakhir ini jumlah pekerjaan yang kita buat itu lebih dari 20.000. Jadi kalau kita berinvestasi itu selalu melihat bagaimana meningkatkan kinerja daripada perusahaan yang kita investasi. Kalau kita meningkatkan kinerja itu berartikan butuh lebih banyak investasi, butuh lebih banyak employee, jadi itu job creation yang betul-betul kita perhatikan.
Ada 3 area yang kita fokus untuk key success factors buat Saratoga dan Recapital dimana kita lakukan penelaahan secara menyeluruh dan sangat-sangat detail.
  1. Operasional, ini adalah yang paling penting. Dalam kacamata seorang ahli keuangan itu kadang-kadang operasional itu tidak dimasukkan sebagai prioritas. Tapi di Saratoga dan Recapital, Operasional itu sangat penting.
    • - Jadi kita masuk dan establishing bagaimana secara operasi kita itu Good Corporate Governance. Ini yang sangat penting untuk monitoring sistem. Sebuah perusahaan atau investasi itu tidak akan mungkin bisa maju dan berkembang tanpa reporting system dan governance system yang ada dalam perusahaan.
    • - Meleverage networking Saratoga dan Recapital itu sendiri. Jadi kadang-kadang banyak sekali pada suatu kesempatan kita melakukan investasi dan pada hari pertama kita melakukan investasi, tiba-tiba ongkos dari pembiayaan mereka bisa turun karena gabung dengan network kita. Ada perusahaan yang kita akuisisi selama ini meminjam dengan suku bunga 13%. Hari pertama kita invest, hari kedua ia bisa melakukan refinancing pada hutangnya itu dan bunganya bisa turun 3-4%. Karena kredit ratingnya meningkat.
  2. Finance, kita melihat bagaimana memanage cashflow lebih baik, bagaimana refinancing strategies yang sudah saya sebutkan tadi. Kadang-kadang kalau melihat neraca itu kita bisa tahu bahwa neracanya ini malas, atau rajin. We called lazy or very active balance sheet. Kadang-kadang neraca itu terlalu banyak hutangnya. Jadi kita harus kurangi hutangnya. Kadang-kadang neraca itu terlalu banyak equitynya. Equitynya terlalu banyak berarti manajemennya terlalu tidur atau terlalu nyenyak. Jadi kita bangunin, kita tambahin utangnya supaya lebih berkeringat.
  3. Human Resources, saya beruntung pernah gabung dalam grup besar Astra dan PDCA dalam konsepnya Pak Teddy. Mungkin bisa ditanya pada pak Teddy konsep tentang Astra View yang PDCA yaitu Plan Do Check and Action. Jadi ini sama di Private Equity juga ada PDCA yang merupakan infinite look yang selalu kita kerjakan jadi sebuah siklus yang terus berjalan.

Fase pertama kami masuk tahun 2001,yang kita sebut sebagai buy low sell high. Waktu itu Adaro masih berproduksi 14-15 juta di tahun pertama. Tapi kita melihat bahwa sedikit sekali perusahaan batubara yang bisa di leverage dan bisa dikembangkan dari segi penambahan jumlah produksinya. Antara 2001 hingga 2005 ini Adaro mengalami suatu peningkatan produksi dari 2001. Tahun 2001 dibawah 20 juta ton sampai ke 30 juta ton di 2005. Waktu itu kita mapping permasalahannya kenapa waktu dulu itu Adaro tidak bisa berkembang.
Ternyata Adaro mengalami problem dalam 2 hal : Menangani urusan dengan komunitas disekelilingnya. Jadi banyak sekali demo. Banyak sekali interupsi dari mogok kerja dll. Akhirnya kita berikan suatu penanganan khusus kepada supplier dan kontraktor dan juga kepada masyarakat di sekitarnya bahwa we are all in one big family. Jadi problem di mereka akan menjadi problem di kita juga. Nah dialog-dialog ini terjadi diantara 2001 hingga 2003 dimana setelah bisa kita selesaikan kita bisa melihat kurva peningkatan dari produksi Adaro.
Jadi ini yang terjadi di 4 tahun pertama setelah kami mulai involve di Adaro dan grup Saratoga sangat-sangat fokus waktu itu bekerja dengan management, dengan employees, dan juga dengan komunitas lokal untuk meminimaze disrupsi dan semua hal yang berpotensi mengganggu produksi. Jadi kita bisa lihat 17,7 juta sampai dengan 20,7 juta bisa tumbuh hanya dalam jangka 4 tahun.
2005 cut off, ini yang kita sebut sebagai pre LBO. 2005 mulai fase kedua dimana kita nyatakan sudah tidak bisa lagi buy low sell high. Tapi kita harus lakukan konsep cosh cutting dan financial reengineering. Jadi kita lakukan LBO di tahun 2005, pak Tom Lembong, pak Patrick Waluyo, dan semua yang pintar-pintar itu kita rangkul. Dari transaksi 2005 ini lahirlah 2 private equity yang sekarang merajai industri private equity bersama-sama kita.
Jadi 2005 ini saya sendiri, Tom Lembong, dan Patrick Waluyo yang menangani akuisisi Adaro. Setelah itu lulusan dari transaksi ini membentuk Quvat yaitu Tom Lembong dan Patrick Waluyo membentuk NorthStar. Jadi transaksi ini melahirkan 2 pengusaha baru dan itulah tipikal Astra. Astra family, Pak William Soeryadjaja selalu bercerita kepada kita bagaimana caranya supaya seorang pengusaha itu bisa diukur sukses kalau dia bisa melahirkan pengusaha-pengusaha yang lain. Pak Teddy dan pak Benny juga sama gurunya adalah pak William.
Jadi ini post LBO, terus kita tingkatkan produksi hingga diangka 45 juta dan tahun 2008 kita lakukan IPO. Pada saat itu merupakan IPO terbesar dalam sejarah Bursa Efek Indonesia. Jadi ini case study bagaimana secara hands on sebuah perusahaan bisa ditingkatkan produksinya dan bisa diimprove dari segi keuangan.

Waktu kami ambil ditahun 2005 sebelum LBO, interest rate secara persistent turun dari interest rate Labor dari 450 business point turun ke 325 di tahun 2005. Di 2007 turun 200 point menjadi 120. Sekarang ada labor plus 120. Jika Indonesia jadi investment grade ini pasti akan turun lagi. Ini adalah bukti bahwa dengan bergabung dengan grup kami, kami bisa menurunkan biaya pinjaman atau biaya financing daripada perusahaan ini. Pada tahun ini jumlah daripada interest rate yang dibayar oleh Adaro lebih rendah dibandingkan interest rate yang dibayar oleh pemerintah Indonesia.
Jadi dunia investasi itu melihat bahwa Adaro sudah piercing the severancy link. Atap daripada republik itu sudah ditembus oleh  Adaro dengan financing di desember 2008. Investor melihat bahwa dengan berinvestasi di Adaro mereka merasa uang yang ditanamkan itu memiliki certainty yang lebih besar daripada berinvestasi di surat hutang yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh 2 hal. Pertama perusahaan dan visinya kedepan. Kemudian kedua adalah manajemennya dan ketiga karena waktu itu batubara lagi betul-betul dilihat sebagai komoditas yang diperlukan dalam perkembangan industri di Cina dan India.
Waktu dulu belum pernah ada yang melakukan financing melalui Mezanin. Yaitu pembiayaan yang bukan equitas dan bukan juga pinjaman. Jadi ada ditengah-tengah dan kita pertama yang melakukan hal ini. Nah ini tentunya interest ratenya jauh lebih tinggi tapi memiliki kolateral yang jauh lebih rendah. Kalau murni debt itu biasanya bunganya 8%, kalo yang mezanin ini 17% dan kalau equiti itu bisa mencapai 25%. Karena ini mezanin returnnya juga diantara dan costnya diantara keduanya. Kalau pinjaman ini biasanya ada kolateralnya yang secure tapi kalau mezanin ini biasanya tidak ada kolateral. Tapi karena tidak ada kolateral jadi harus membayar bunga yang lebih tinggi.
Ini adalah proses deleveraging ke pembayaran hutang yang dilakukan secara kontinu. Tentunya relationship, network dengan komunitas keuangan itu sangat diperlukan untuk menghasilkan proses deleveraging dalam jangka waktu yang sangat cepat yaitu 3 tahun dan mendapatkan kompensasi dari penurunan suku bunga yang sangat signifikan.
Salah satu hands on approach yang kita lakukan adalah kita melakukan vertical integration untuk meningkatkan efisiensi. Jadi dari tambang Adaro ke kapal itu jaraknya sangat jauh. Dulu proses ini ditangani oleh beberapa kontraktor. Akhirnya kita lakukan investasi dari penambangan batubaranya, juga investasi dalam pengangkutan batubaranya menuju sungai yang jaraknya 80 km. Kemudian kita melakukan integrasi pada perusahaan yang melakukan pengapalan atau pengangkatan melalui tongkang sejauh 250 km antara Kelanis ke Taboneo ship loading. Kita juga lakukan investasi diperusahaan terminal pelabuhan batubara yang kita sebut sebagai Indonesian Bulk Terminal.
Proses integrasi ini kita lakukan dalam waktu 3 tahun dan meliputi semua major operation. Begitu kita melakukan vertical integration tiba-tiba kita mampu untuk mengontrol biaya produksi jauh lebih baik. Akhirnya sekarang Adaro achievementnya bisa disebut sebagai perusahaan batubara yang memimpin dalam hal mengelola cost dan efisiensi. Kita adalah perusahaan yang terefisien.
Pemilihan lokasi pelabuhan diselatan Pulau Laut dilakukan karena dia memiliki akses ke Jepang, Taiwan, dan pulau Jawa. Kita pilih lokasi itu karena letaknya strategis. Jadi ini yang kita lakukan dan Alhamdulillah bisa melakukan integrasi ini. Konsepnya adalah from Pit to Port.

Perusahaan ini adalah perusahaan telecommunication tower yang kami mulai investasi di tahun 2004. Kalau kembali ke evolusi M&A berarti di fase kedua. Waktu dulu ide ini pertama kali bukan original ide saya, tapi ide pak Trenggono waktu duduk bersama di suatu panel. Pak Trenggono waktu itu mengintroduksi idenya tentang Perusahaan Indonesia Tower. Dia bilang “ke depan perusahaan operator telekomunikasi itu tidak akan mengkonstruksi dan mengoperasikan tower-tower (BTS) karena sangat mahal dan sangat keluar dari core sebagai operator.
Waktu itu saya duduk mendengarkan dia cerita dan waktu itu saya coba investasi di perusahaannya dia. Tapi pak Trenggono tidak tertarik. Jadi akhirnya kita mulai dari kecil banget. Waktu itu kita mulai dengan 7 tower yang kita ambil alih di 2004. Kita terus melihat bagaimana kita bisa mengembangkan bisnis ini. Tahun 2005-2006 kebetulan Mobile 8 pada saat itu melakukan penjualan daripada tower-towernya dan kami berhasil mendapatkannya sehingga mulai dari 7 naik menjadi 352 tower. Di tahun 2007-2008 berkembang menjadi 641 tower. Kemudian di tahun 2009-2010 akhirnya jodoh juga sama Pak Trenggono. Kita duduk dan akhirnya sepakat untuk bergabung sehingga membentuk Tower Bersama Group.
Jadi ini adalah gabungan antara Indonesia Tower dan Tower Bersama yang kita mulai di tahun 2004. Sekarang sudah ada 3100 tower dan tahun lalu di 2010 kami melakukan IPO dan sekarang nilai kapitalisasi pasar Tower Bersama Group itu sekitar 1,4 milyar dollar. Ini kebetulan yang kami tekuni dari mulai 2004 dengan 7 sites. Perusahaan ini dibangun dengan non organic growth yaitu dengan akuisisi dan organic growth dengan membangun sendiri tower.
Jadi kalau kita lihat ternyata di Indonesia ini dalam fase kedua kalau kita kerja dengan tekun, fokus, dan bisa melakukan penetrasi yang sangat efisien. Value itu bisa di create, nilai itu bisa dikembangkan dan ini kita juga memberikan kredit pada management team yang bekerja dengan susah payah dan tekun mengembangkan Tower Bersama. Sekarang ini tower bersama menjadi investment kedua terpenting dalam keluarga Saratoga.
Jumlah total tower di Indonesia itu hari ini ada 50.000 tower dan banyak sekali daerah yang belum tercover apalagi daerah-daerah terpencil. Perlu inovasi-inovasi terutama untuk daerah terpencil karena ada permasalahan yaitu kadang-kadang tower ini di daerah terpencil tidak bisa mendapatkan sumber listrik. Jenset kadang-kadang juga susah dan inovasi yang kita kembangkan sekarang adalah bagaimana mereka bisa nyala melalui tenaga surya.  Pada satu titik di tahun 2004, 1 tower itu kira-kira biayanya 1 miliar rupiah.
Saya ingin share 2 kisah sukses Adaro dan Tower Bersama agar bisa kelihatan bahwa investment itu bukan hanya plain vanilla kita beli terus kita duduk. Tapi harus beli dan betul-betul kerja dan turun tangan. Meeting-meetingnya Tower Bersama ini dilakukan jam 11 malam karena kesibukan saya mengurus HIPMI dan lain-lain. Jam 11 malam kita kumpul dan ada beberapa keputusan penting khususnya dengan inorganic growth, akuisisi dan lain-lain itu diputuskan malam sekali dan memang harus hands on dalam mengerjakan setiap investasi untuk mendapatkan keuntungan sesuai ekspektasi kita.
Di tower ini ada radio equipment, dan tower ini kita sewakan kepada operator-operator telekomunikasi agar mereka bisa menempatkan radio equipment mereka. Satu tower tidak hanya 1 radio, tapi bisa sampai 6 operator yang bisa menyewa di satu tower. Dulu setiap operator itu membangun towernya masing-masing sehingga di satu tempat bisa terdapat 4 hingga 7 tower. Betapa tidak efisiennya dan konyol. Jadi waktu itu kita melihat sangat wasting of resources dan ugly jika satu lokasi ada 5-6 tower. Misalnya suatu tempat di gunung udah cantik-cantik tapi ada 7 tower berdiri dan buat apa? Jadi merusak pemandangan. Rata-rata karena ego mereka operator bahwa kita harus punya tower sendiri. Dengan begini operator tidak perlu bangun tower sendiri, mereka bisa tumpangin tower milik kita. Sekarang sudah di tata ulang dan ada beberapa tower yang dirobohkan karena secara estetika kurang bagus.
Studi untuk lokasi pembangunan tower itu bisa dilakukan karena pengguna seluler sudah terpetakan. Ada cell system jadi bisa keliatan dimana lokasi yang bagus untuk dibangun tower. Kemudian kita kerjasama dengan komunitas setempat dan pemda daerah untuk mendapatkan IMB dan kemudian menawarkan kepada operator selular.
Pada waktu itu keadaan market lagi bagus di 2008, kita melihat bahwa perusahaan itu sudah mentok dari segi leverage liability dari loan dan fasilitas perbankan. Akhirnya diputuskan untuk melakukan IPO pada saat itu karena timingnya sedang baik untuk menggunakan hasil IPO tersebut untuk mengakuisisi proses produksi ini dan menurunkan jumlah pinjaman dari perbankan. Jadi keputusan itu diambil pada saat itu.
Untuk Tower Bersama waktu itu kita putuskan IPO pada tahun 2010 murni karena memang bisnis ini bertumbuhnya sangat-sangat cepat dan pada satu titik kita sudah tidak bisa lagi mendanai melalui perbankan dan equitas. Jadi kita melihat model-model perusahaan tower yang sukses diluar negeri itu akhirnya harus menawarkan sahamnya kepada public. Pada bulan oktober 2010 itu Burfa Efek Indonesia sedang mencapai titik tertinggi. Pada saat itu juga dengan eksekusi dan timing yang tepat kita lakukan IPO dan hasilnya kita gunakan untuk membayar hutang dan menyiapkan modal untuk ekspansi.
Jadi keputusan IPOnya itu diambil melalui proses decision making yang saya sebutkan tadi. Ini kalau tidak ada berkah Tuhan semua tidak akan ada yang jadi.
Jadi ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia memang tumbuh dengan fenomenal. Investasi 7 miliar sekarang dinilai dengan 14 triliun dalam jangka waktu kurang dari 7 tahun.
Nah ini adalah 2 transaksi yang berhasil (Adaro & Tower Bersama). Tapi saya tidak mau muna bahwa kita juga banyak yang gagal. Jadi saya ingin share juga things that did not work for us dan saya ingin share tapi tidak bisa sebut namanya tapi mungkin kalau melihat gambar-gambarnya bisa menebak.


1 comments:

geniliveforever said...

bro masih punya link videonya gak?

Click Button Below to Save As PDF

Pertumbuhan PDB per kapita (% tahunan)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com