Loading

LAKBAN / OPP TAPE MURAH DAN KUAT

Thursday, March 1, 2012

Gurita Bisnis Konglomerat Indonesia Yang Merintis Usaha dari NOL


Alim Markus, Sudhamek AWS, dan Chaerul Tanjung adalah konglomerat negeri ini yang merintis bisnis dari nol. Alim memulai bisnis dari produsen lampu teplok skala rumahan, Sudhamek mewarisi bisnis kacang garing tanpa merek dari sang ayah, dan Chaerul Tanjung (CT) harus membiayai kuliah dari jasa fotokopi.
“Cintailah produk-produk Indonesia.” Masih ingat tagline ini? Tagline yang keluar langsung dari mulut Alim Markus, Presiden Direktur Grup Maspion yang meneruskan estafet kepemimpinan dari sang ayah Alim Husin. Siapa sangka, produsen lokal berbagai macam peralatan rumah tangga ini mengawali usahanya pada tahun 1961 sebagai produsen lampu teplok berskala industri rumah tangga.
Mulai dari panci, termos, kompor gas, pompa air, sampai AC berlabel Maspion memenuhi banyak rumah tangga akhir-akhir ini. Padahal dulunya, Alim Husin hanya memproduksi lampu teplok dibawah bendera Usaha Dagang (UD) Logam Jawa. Dalam sehari, Alim Husin mampu memproduksi 300-an lampu teplok ketika itu. Sebagai sulung dari 4 bersaudara, sejak muda Alim Markus sudah mulai terlibat dalam usaha yang dibangun ayahnya.
Usaha ini berkembang dari sekedar produksi lampu teplok, sampai membuat lampu badai untuk nelayan. Sejak itu UD Logam Jawa terus mengembangkan jenis produksinya, mulai dari ember, baskom, loyang, dan beberapa alat rumah tangga lainnya. Sejalan dengan itu, tahun 1972 dirancanglah logo dan nama baru yakni Maspion yang merupakan singkatan dari Mengajak Anda Selalu Percaya Industri Olahan Nasional. Perubahan ini juga diikuti perubahan pucuk kepemimpinan, dari Alim Husin, diwariskan kepada Alim Markus sebagai putra tertua. Sementara adik-adiknya, juga ikut kebagian peran sebagai direktur pengelola di perusahaan.
Alim Markus, yang sejak muda tergolong rajin dan tidak segan mengerjakan berbagai jenis pekerjaan ternyata cukup lihai memimpin dan mengelola perusahaan, dibawah kepemimpinannya, Maspion berkembang luar biasa, perusahaannya beranak pinak, mulai dari produsen peralatan rumah tangga, juga merambah bisnis sekuritas, money changer, dan perbankan.
Ekspor Kacang Atom
Senada dengan Alim Markus, Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto juga melanjutkan tongkat kepemimpinan usaha yang dibangun ayahnya almarhum Darmo Putro. Hari ini, produk-produk Garuda Food sudah akrab dengan lidah konsumen Indonesia. Varian camilan dan minumannya yang beragam banyak diminati seluruh golongan baik tua maupun muda bahkan anak-anak. Padahal, mendiang Darmo hanya memulai dari usaha keluarga kecil-kecilan dengan memproduksi kacang garing yang di sekitar tahun 1979 sedang mewabah.
Kacang garing yang dijual tanpa kemasan dan tanpa merek ini dipasarkan dibawah bendera PT. Tudung Putra Jaya (TPJ) yang berdiri di Pati, Jawa Tengah pada tahun 1958. Selama bertahun-tahun perusahaan TPJ berjalan relatif mulus, namun saking mulusnya seperti tidak ada perkembangan. Kemudian Sudhamek yang sejatinya bungsu dari 6 bersaudara justru dipercayakan sang kakak untuk meneruskan tongkat komando ketika ayahnya mangkat. Sudhamek resmi memimpin sejak tahun 1994.
Berbagai strategi kemudian dilancarkan Sudhamek, ia membubuhkan merek pada produknya, nama Garuda Food ternyata manjur. Ia kemudian  menggenjot pemasaran yang dirasanya kurang selama perusahaan berjalan. “Semua stakeholder waktu itu berpikir usaha kacang kok mau pakai merek, apalagi butuh uang banyak. Namun, saya yakin dan pantang mundur. Saya yakinkan kalau terus seperti ini, akan tetap kecil dan bertarung di laut yang sama (red ocean). Sama-sama kelelahan. Mereka akhirnya setuju,” ujar Sudhamek seperti dikutip dari sebuah situs online.
Ia kemudian menggelontorkan Rp.600 juta untuk menjalankan strateginya, sayangnya pil pahit harus ditelan, langkah awalnya gagal. Sudhamek sempat ketar-ketir, tapi baginya pantang surut kaki melangkah. Sudhamek memasangtagline, ‘Ini Kacangku’, untuk produk Kacang Garuda-nya. Sisi distribusi juga mulai digencarkan, maklum karena barang konsumsi perputarannya sangat cepat, sehingga distribusi yang gesit diperlukan. Semua dilakoni Dhamek dan timnya dengan telaten, sabar, dan perlahan.
Walhasil, produk-produk Garuda Food dibawah perusahaan induk Tudung Group berkembang pesat. Belasan varian produknya beredar tidak hanya di dalam negeri, namun juga nyebrang hampir ke 22 negara. Kuncinya, Sudhamek selalu menekankan kebersamaan, kejujuran, inovasi, reputasi, dan kredibilitas. Apalagi orang tuanya pernah berpesan, untuk mengutamakan kebersamaan dan kekompakan dalam keluarga.
CT Si Tukang Fotokopi
Lain lagi cerita Chairul Tanjung, konglomerat muda negeri ini. CT, biasa Chairul Tanjung disapa, dikenal sebagai pemilik PT. Transformasi Indonesia (Trans TV) dan PT. Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (Trans7). Tapi, sejatinya, bisnis CT tak hanya bergerak di dunia broadcasting.
Pria kelahiran 16 juni 1962 ini memiliki tiga lini dalam kerajaan bisnisnya. Lini media, lifestyle, dan entertainment, selain punya dua stasiun televisi, dia juga punya usaha kafe Coffee Bean & Tea Leaf, kedai es Krim Baskin & Robbins, travel Anta Tour, dan theme park Trans Studio di Makassar. Ia juga pemilik lisensi merek-merek ternama untuk Indonesia, seperti Prada, Mango, Jimmy Choo, Aigner, Tod’s, dan Hugo Boss. Di sektor financial, di antaranya Bank Mega, Bank Mega Syariah Indonesia, asuransi Mega Life, dan asuransi umum Mega Insurance. Dan tidak ketinggalan, bisnis property dan sumber daya alam, seperti energy, pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur. Nama CT pun makin melambung ketika April 2010 silam, ia diberitakan mengakuisisi 40% saham pusat perbelanjaan Carrefour Indonesia. Wow!
Padahal, lulusan SMA Boedi Oetomo, Jakarta ini bukan anak orang kaya. “Dulu, saya harus berpikir keras untuk mencari uang agar menyelesaikan kuliah”. Chairul kecil bisa dikatakan terlahir dari keluarga cukup berada kala itu. Dia mempunyai enam saudara kandung. A.G. Tanjung, ayahnya, adalah mantan wartawan pada era Orde Lama dan pernah menerbitkan surat kabar dengan oplah kecil.
Namun, ketika terjadi pergantian era pemerintahan, usaha ayahnya itu tutup karena ayahnya mempunyai pemikiran yang berseberangan dengan penguasa politik saat itu. Keadaan tersebut memaksa kedua orang tuanya menjual rumah dan harus rela menjalani hidup seadanya. Mereka pun kemudian menyewa sebuah losmen dengan kamar-kamar yang sempit.
Kondisi ekonomi keluarganya yang sulit membuat orang tuanya tidak sanggup membayar uang kuliah Chairul yang waktu itu hanya sebesar Rp75.000. “Tahun 1981 saya diterima kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (UI). Uang masuk ini dan itu total Rp75.000. Tanpa saya ketahui, secara diam-diam ibu menggadaikan kain halusnya ke pegadaian untuk membayar uang kuliah,” katanya lirih.
Melihat pengorbanan sang ibu, ia lalu berjanji tidak ingin terus-menerus menjadi beban orang tua. Sejak saat itu, ia tidak akan meminta uang lagi kepada orang tuanya. Ia bertekad akan mencari akal bagaimana caranya bisa membiayai hidup dan kuliah.
Menurut penuturan Chairul, gedung tua Fakultas Kedokteran UI dulu belum menggunakan lift. Dari lantai satu hingga lantai empat masih menggunakan tangga. Lewat ruang kosong di bawah tangga ini, Chairul muda melihat peluang yang bisa dimanfaatkannya untuk menghasilkan uang.
“Nah, kebetulan ada ruang kosong di bawah tangga. Saya lalu berpikir untuk bisa memanfaatkannya sebagai tempat fotokopi. Tapi, masalahnya, saya tidak mempunyai mesin fotokopi. Uang untuk membeli mesin fotokopi pun tidak ada,” tuturnya.
Dia pun lantas mencari akal dengan mengundang penyandang dana untuk menyediakan mesin fotokopi dan membayar sewa tempat. Waktu itu ia hanya mendapat upah dari usaha foto kopi sebesar Rp2,5 per lembar. “Sedikit ya. Tapi, karena itu daerah kampus, dalam hal ini mahasiswa banyak yang fotokopi, maka jadilah keuntungan saya lumayan besar,” katanya sambil melempar senyum.
Tidak hanya sampai di situ, ia pun terus berusaha mengasah kemampuannya dalam berbisnis. Usaha lain, seperti usaha stiker, pembuatan kaos, buku kuliah stensilan, hingga penjualan buku bekas dicobanya. Usai menyelesaikan kuliah, Chairul memberanikan diri menyewa kios di daerah Senen, Jakarta Pusat, dengan harga sewa Rp1 juta per tahun.
Kios kecil itu dimanfaatkannya untuk membuka CV yang bergerak di bidang penjualan alat-alat kedokteran gigi, jual-beli mobil bekas, kontraktor, dan jasa lisensi. Sayang, usaha tersebut tidak berlangsung lama karena kios tempat usahanya lebih sering dijadikan tempat berkumpul teman-temannya sesama aktivis. “Yang nongkrong lebih banyak ketimbang yang beli,” kata mahasiswa teladan tingkat nasional 1984-1985 ini.
Saat berumur 25 tahun, tepatnya pada tahun 1987, CT mencoba bangkit dan melangkah lagi dengan menggandeng dua temannya mendirikan PT Pariarti Shindutama ‘pabrik pertamanya’ yang memproduksi sepatu. Ia mendapatkan kredit ringan dari Bank Exim sebesar Rp150 juta. Kepiawaiannya membangun jaringan bisnis membuat sepatu produksinya mendapat pesanan sebanyak 160.000 pasang dari pengusaha Italia. “Waktu itu saya masih lajang dan sudah memiliki bisnis dan rumah sendiri. Bahagia sekali,” cetus dia, terkekeh. Bisnis CT terus berkembang. Ia mulai mencoba merambah ke industri genting, sandal, dan properti. Namun, di tengah usahanya yang sedang merambat naik, tiba-tiba dia terbentur perbedaan visi dengan kedua rekannya. Ia pun memutuskan memilih mundur dan menjalankan sendiri usahanya.
Di era 1996-2000, bisnis real estate dan finansial milik CT terus membesar. Bisnis CT tidak lekang dihantam gelombang krisis 1998. Sebab, CT tidak punya banyak utang. Bahkan ketika banyak perusahaan gulung tikar, CT justru membeli Bank Karman, yang menjadi cikal bakal Bank Mega, seharga Rp.150 juta. Bank Mega pun berkembang menjadi salah satu Bank Swasta lokal terbesar di Indonesia. Di era ini CT mengaku berhasil naik kelas dari pengusaha UKM menjadi pengusaha besar.
Memasuki tahun 2000an dinasti bisnisnya semakin menggurita, berbagai lini bisnis dimasukinya, mulai dari perbankan, media, ritel, sampai mengelola perkebunan kelapa sawit. Kini, ia memimpin lebih dari 60.000 karyawan. “Orang kenal saya ketika saya sudah jadi konglomerat. Padahal, saya dulu berawal dari UMKM, dari kelas paling kecil tapi terus naik kelas,” aku Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) ini. Komite di bawah Presiden ini bertugas memberi masukan dan kajian ekonomi Indonesia untuk Presiden.
CT memang lihai menyinergikan perusahaan-perusahaan yang dimilikinya menjadi saling berhubungan dan ketergantungan. Misalnya, pemegang kartu kredit Bank Mega bisa mendapat fasilitas lebih ketika berbelanja di Carrefour. Selain itu, CT dikenal sebagai pekerja keras dan pantang menyerah.
Menurutnya, untuk menjadi seorang pengusaha dibutuhkan kerja keras dan kerja cerdas. Sabar dan jujur. Menjaga kepercayaan dan jeli melihat & memanfaatkan peluang. Lakukan yang terbaik yang bisa dilakukan. Dia mengaku dalam sehari selalu bekerja 18 jam sehari. Sungguh luar biasa. Tidak banyak orang Indonesia yang mampu bekerja selama itu (bekerja keras sekaligus cerdas) dalam keseharian. Sehingga, tidak heran kalau Chaerul Tanjung merengkuh predikat sebagai salah satu orang terkaya didunia.
Berkaca dari tiga kisah diatas, maka benarlah apa yang dikatakan Rhenald Kasali, menurutnya seorang entrepreneur sejati harus memiliki aspek tangibledan intangible. “Aspek intangible berarti entrepreneur sejati mesti kreatif berpikir out of the box, berorientasi pada peluang dan tindakan dan selalu mengkalkulasi resiko. Sementara aspek tangibleentrepreneur harus tahu bagaimana memulai usaha, tahu kapan harus mengubah status perusahaannya, dan pandai mengakali masalah permodalan.” Kata Pak Rhenald Kasali :)
Bapak2 ini juga orang biasa, sama2 makan nasi, sama2 punya 24 jam yang sama, yang beda dimananya? dimananya :D tentu bedanya di goalnya, actionnya, passionnya, dan strateginya, yang terpenting bagi saya secara pribadi, kalau beliau2 ini bisa mencapai hal2 besar disaat ini, pastilah mereka memulai segala sesuatunya dari hal2 yang kecil juga, yang pasti saya berkeyakinan kalau mereka bisa, saya juga bisaaa!!! pastttiii bisaaaa!! 

0 comments:

Click Button Below to Save As PDF

Pertumbuhan PDB per kapita (% tahunan)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com